Friday, November 15, 2013

Gender dalam perspektif santri


Kata gender atau kesetaraan gender 10 tahun terakhir ini sangat sering diucapakan dan dibicarakan, baik dari kalangan akademisi ataupun sampai orang awam karena sering mendengar dari televisi yang sering membahas dan menjelaskan tentang gender. Kemajuan zaman yang terus berkembang dan terus maju menjadikan kesetaraan menjadi hak yang wajib dan harus dilakukan baik penuntutan hak perempuan ataupun penuntutan laki- laki setelah melaksanakan kewajiban.

Tetapi terkadang kebanyakan orang salah mengartikan tentang gender karena menyamakan atau disamkan dengan kata sex, dalam pandangan apapun kita harus membedakan dalam sebuah definisi yang jelas dan tepat anatara sex dan gender, agar saat dibicarakan ataupun didiskusikan menjadi sefaham dan lebih setara saat memperdebatkannya, karena ketika dalam definisi tidak sama tidak akan menimbukan titik temu dan menjadi debat kusir yang tidak mendasar. Perbedaan sex dan gender, sex adalah lebih ke hal biologis yang membedakan sangat Nampak dan menjadi kodrat Tuhan sang pencipta yang tidak bisa dirubah dengan cara apapun, seperti ketika laki- laki memiliki penis, memproduksi sperma sedangkan perempuan memiliki rahin, vagina, melahirkan, memproduksi sel telur. Dalam hal biologis itu menjadi kodrat anatar laki- laki dan perempuan yang sangat berbeda dan tidak bisa dirubah.

Sedangkan gender yang membedakan dengan sex adalah, gender lebih kepada sifat kemanusiaan yang mungkin bisa dirubah dan bisa dimiliki oleh laki- laki dan perempuan, seperti contoh laki- laki dengan memiliki sifat logis, kuat, dan bersifat secra fisik lebih kuat. Karena posisi masyarakat yang memposisikan dan menjadikan laki- laki memiliki karakter seperti itu, sementara wanita memiliki sifat lemah- lembut, penyayang memakai perasaan. Karena prosesi kontruksi dan doktrinisasi sifat dilakukan sejak bayi dan lama maka terus hal- hal yang sebenarnya menjadi sifat, menjadi seperti kodrat yang tidak bisa dirubah dan sudah ditentukan oleh tuhan.

Prosesi penilaian masyarakat dan doktrinisasi masyarakat atas sifat yang menjadikan seperti takdir tuhan untuk laki- laki dan wanita, contoh yang menjadi sangat banyak dimasyarakat kita adalah ketika mengatakan mengurus keluarga, menjaga kebersihan rumah, memasak dan mengurus anak menjadi kewajiban dan kodrat yang sudah ditentuka oleh Tuhan untuk kaum wanita, doktrin itu terus berlanjut dan akhirnya seperti Tuhan yang menentukan itu semua, maka kadang menjadi salah dan menjadi penilaian yang sangat mutlak disalahkan ketika kaum laki- laki memiliki sifat lemah lembut, memakai perasaan, ataupun mengurus pekerjaan rumah dan terkadang menjadi sangat salah ketika wanita menjadi pekerja, rasional dan bahkan lebih kuat dari laki- laki, karena dibagian Negara lain atau didesa- desa sangat banyak wanita yang sangat lebih dominan dibanding laki- laki.

Pembahasan perkembangan pemikiran eknomi pun menjadi tidak menarik ketika tidak memasukan dalam kemajuannya itu mengenai gender, seperti kritiknya kalrmarx terhadap kapitalis tentang kelas menjadi kurang menarik karena menyingkirkan gender,. Karena pembahsan tentang gender ini menjadi universal dan maju dengan adanya dan berkembangnya kemajuan dimasyarakat serta kemajuan cara berfikir.

Dalam konteks ajaran agama saat ini harus banyak dan berubah penafsiran ulang tentang bahwa kaum perempuan derajatnya dibawah atau rendah jauh dibawah laki- laki, kesan dari beberapa tafsiran ayat yang ditafsirkan sejak dulu dan dalam konteks terdahulu menjadi tidak relefan ketika dipakai dan digunakan tafsirnya untuk saat sekarang, seperti ucapan seorang penulis syeikh nafzawi ketika menulis kondisi ideal perempuan pada kultur timur tengah abad pertengahan pada masa dia adalah perempuan yang jarang bicara,atau ketawa, dia tak pernah meninggalkan rumah, walaupun untuk menjenguk tetangganya atau sahabatnya,. Ia tidak memiliki teman perempuan, dan tidak percaya terhadap siapa saja kecuali kepada suaminya. Dia tidak menerima apapun dari orang lain kecuali dari suami dan orang tuanya. Jika dia bertemu dengan sanak keluarganya, dia tidak mencampuri urusan mereka. Dia harus membantu segala urusan suaminya, tidak boleh banyak menuntut ataupun bersedih. Ia tak boleh tertawa selagi suaminya bersedih, dan senantiasa enghiburnya. Dia menyerahkan diri hanya kepada suaminya. Meskipun jika control akan membunuhnya, perempuan seperti itu adalah yang akan dihormati oleh semua orang.

Hal ideal perempuan pada zaman dulu atau abad pertengahan adalah pada konteks dan waktu yang harus mengatakan bahwa perempuan harus menjadi seperti itu, tetapi dalam konteks sekaranag hal tersebut masih berlaku dan masih dianggap yang harus dilakukan dan dijadikan pegangan bagi perempuan, kenapa harus ada penafsiran ulang dalam beberapa ayat al- qur’an tentang status gender dan hak yang didapatkan oleh laki- laki ataupun perempuan, karena seolah- olah Al-qur’an lebih menyimpan kedudukan perempuan lebih rendah dari pada laki- laki seperti contoh dalam ayat, an- nisa ayat 34 “laki- laki adalah pengelola atas perempuan”, pada penafsiran dan konteks saat itu bisa dikatakan benar dan relevan ketika ayat tersebut diartikan seperti itu, karena belum mengeal dengan konsep hak dan kewajiaban, tetapi dalam kontek sekarang penafsiran ayat tersebut harus dirubah, karena baik laki- laki ataupun perempuan memiliki hak dan kewajiaban yang sama, yang harus sama- sama dilakukan.

Dalam penafsiran kalimat “Qawwam” ditafsirkan menjadi perempuan budak yang bisa dimanfaatkan tidak jauh kondisinya seperti cara pandang kaum kapitalis dalam cara memandang kaum perempuan yang dianggap hanya sebagai tempat produksi keturunan makanya bisa diekploitasi, dan ketika kata tersebut diartikan perempuan derajatnya dibawah laki- laki seperti pada zaman peodal ketika perempuan memperbudak dirinya kepada kaum laki- laki, padahal ajaran islam tidak mengajarkan akan hal tersebut.

Mengapa harus ada penafsiran ulag atas ayat yang menjadikan kaum perempuan tertindas dan tersingkirkan, seperti kejadian seorang sahabat yang menampar istrinya lalu istri sahabat tersebut mengadukan ke rasul setelah pengaduan tersebut, lalu Rasul memerintahkan agar istrinya untuk membalas perilaku yang dilakukan oleh suaminya, jika ditarik dalam konteks saat itu, maka kejadian itu sangat  menggemparkan karena pada saat itu sangat mendominasinya kaum laki- laki, bersambung ke ayat 35 surat annisa diperlukannya seorang hakim atau penengah dalam penyelesain masalah yang terjadi baik dalam konteks agama, rumah tangga, ataupun pemimpin Negara.

Berkaitan erat dengan boleh tidaknya perempuan menjadi hakim, kepala Negara ataupun posisi- posisi politik yang strategis dalam kontek sekarang ataupun berkaca pada kejadian masa lalu ketika zaman sahabat ataupun ketika kejadian masih ada Rasul, tidak ada ayat Al- qur’an yang mengatakan secara tegas bahwa perempuan tidak boleh menjadi seorang pemimpin ataupun menjadi seorang hakim dalam sebuah masyarakat, tetapi adapun hadits ahad dari Abu bakar yang menegaskan perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, tetapi ini menjadi bertolak belakang ketika terjadinya Perang unta yang dipimpin oleh siti Aisyah kejadian perang tersbut terjadi sesudah dikeluarkanya hadits oleh Abu Bakar tetapi setelah kejadian perang tersebut tidak ada pelarangan dan menyalahkan akan apa yang dilakukan oleh Aisayh menjadi seorang pemimpin perang pada saat itu, karena penafsiran sebuah ayat atau tafsiran Agama erat kaitannya dengan kepentingan politik, ekonomi, budaya. Maka diapandang  perlu adanya penafsiran- penafsiran yang dikaji ulang atas ayat- ayat yang ditafsirkan secara bias dan tidak begitu jelas serta lebih mengedepankan kepentingan individu.

Dilingkungan pesantren yang sangat berpegang teguh pada tafsir klasik dan melihat dari prilaku kiai yang terlihat seenaknya dan secara nampak menganggap wanita itu lebih rendah, ketika wanita dilingkungan pesantren diperlakukan mengabdi dan terkekang oleh yang namanya kiai atau sesepuh yang mengurus pesantren tersebut. jika dipandang dalam sudut pandang gender perilaku kiai dan sesepuh dikalangan pesantren banyak yang tidak berprilaku normal terhadap wanita, karena pembatasan- pembatasan yang sangat kekang dan menjadikan wanita tidak berprilaku kurang sehat dan tidak cerdas. karena menilai pesantren itu penjara yang tidak memberikan kebebasan untuk mengembangkan sifat kewanitaannya.
Dan perilaku santri pria ketika melihat wanitapun seperti melihat budak seks yang dilepaskan dalam kandang penjara, yang bisa dinikmati setiap lekuk tubuhnya untuk memuasakan nafsu sesaat seorang laki- laki, karena keterbatasan dan dibatasinya perkembangan sifat perempuan dan perempuan itu dibentuk menjadi wanita yang bersifat lemah lembut, tidak berdaya dibawah telunjuk laki- laki karena seperti itu yang diciptakan seorang kiai ketika menciptakan kultur cara memandang pesantren.

0 komentar:

Post a Comment